THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Paradigma Ilmiah Dan Determinisme Kebudayaan

PARADIGMA ILMIAH

Pembicaraan tentang paradigma ilmiah mungkin sulit di lepaskan dari nama seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn (1972). Yang lebih dari tiga dekade lalu mengembngkan konsep kajian paradigmatik sebagai upaya untuk mempelajari anomali-anomali dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Dalam bukunya yangterkenal dan masih sering di jadikan acuan oleh para ahli ilmu pengetahuan, yakni The Structure of Scientific Revolution (1972), Thomas kuhn menggunakan istilah “paradigma” dalam dua dimensi yang berbeda : “Pertama , paradigma berarti keseluruhan perangkat Kuhn menyebutnya
“kontelasi’ Keyakinan, nilai-nilai, tehnik-tehnik, dan selanjutnya yang di miliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat.
Pengertian paradigma yang kedua adalah apa yang di sebut Kuhn (1972: 78) sebagai eksemplar yang berarti contoh yang bermutu tinggi dari penelitian yang sukses yang di tanggapi sebagai model ideal oleh para anggota komuitas ilmiah yang bersangkutan. Komunitas ilmiah terdiri dari individu-individu yang secara esensial memiliki pendidikan yang sama, tujuan yang sama, dan mengaju kepada perbendaharaan kepustakaan yang sama. Komunitas ilmiah di cirikan oleh komunikasi yang relatif itensif di kalanagan para aggotanya dan kesepakatan yang relatif bulat dalam hal penilaian profesional dalam perinkat atau jenjang mereka . pendek kata, komunitas ilmiah terdiri dari para ilmuan yang memiliki bersama eksemplar yang sama.
Jika kita simak lebih lanjut dari kedua pengertian di atas, pengertia yang pertama paradigma sebagai konstelasi keyakinan dan tehnik adalah yang paling berpengaruh. Jadi paradigma terdiri dari asumsi dan perinsip ontologis dan epitemologi khusus yang meliputi prinsip-prinsip teoritis, yang berdasarkan perinsip-perinsip tersebut teori-teori khusus yang dapat di buktikan di bangun (kuhn, 1972: 78) yang terpenting kita catat adalah bahwa paradigma memberikan ranah yang sesuai bagi satu kajian yang di dalam ranah tersebut prinsip-prinsip epistemologi dan teoritis di terapkan.
Sukar di bayangkan bahwa para ilmuan mengetahui dengan tepat bahwa paradigma yang di ikutinya telah gagal, dan oleh sebab itu ia memutuskan untuk pindah ke paradigma lain. Yang mungkin terjadi adalah apabila aturan-aturan ilmiah suatu paradigma di perbandigkan dengan aturan-aturan lain yang di pandang berhasil, dan evaluasi di lakukan dalam konteks ini. Jadi, paradigma tidaklah ditinggalkan begitu saja ; melainkan suatu paradigma yang digantikan oleh paradigma lain. Paradigma yang lebih produktif lebih baik dari pada pradigma yang kurang produktif. Kuhn setuju dengan hal ini karena ia berpendapat bahwa para ilmuan memandang paradigma “ yang lebih baiak “ apabila memiliki ketepatan, ruang lingkup, simplisitas guna< dan sebagainya yang lebih daripada paradigma yang lain.
Kritik beruntun-runtun di alamtkan kepada konsep kesepadanan dan ketidaksepadaan paradigma dari Kuhn. Popper (1974: 56) mengatakan bahwa “ konsep kesepadanan itu hanyalah dogma-dogma yang berbahaya dua kerangka berfikir (paradigma yang bersaing) adalah seperti dua bahasa yang tidak dapat saling memahami satu sama lain.” (lakatos, 1970: 178) menaksirkan ketidaksepadanan paradigma sebagai ‘tidak adanya standar rasional untuk membandigkan paradigma satu dengan paradigma yang lain karena setiap paradigma memiliki standarnya sendiri.

DETERMINISME KEBUDAYAAN

Kendati sebagian besar antropolog melakukan penelitian di bawah payung paradigma determinisme kebudayaan, sangat sedikit yang menyebut diri mereka secara terang-terangan deteminis kebudayaan, sebagian besar antropolog lebih suka bekerja dalam kerangka paradigma yang tesirat yang luas dan tidak spesifik. Kent flannery (1982) mengatakan bahwa kebanyakan antropolog “dengan senang hati menyibukkan diri melakukan pekerjaan ilmiah mereka dan punya cukup banyak waktu untuk khawatir tentang falsafah dari apa yang mereka kerjakan “
“ empat orang arkeolog dalam perjalanan pulang menggunakan pesawat B 747 setelah menghadiri pertemuan tahunan perhimpunan arkeologi Amerika. Penulis sendiri (Kent Flannery) adalah pengamat partisipan, yang terlibat dialog tentang hakikat dan tujuan arkeologi kontempoler, ketiga rekannya adalah Filsuf terlahir kembali (FTK), Arkeolog Tahun Tujuh puluhan (ATT), dan Arkeolog Masa Lalu (AML).
FTK memulai kariernya sebagai pekerja arkeologi yang menaruh minat besar pada sejerah daerah barat daya, tetapi meninggalkan urusan besar itu demi mengembangkan spekulasi-spekulasi di ruangan tertutup dalam “filsafat ilmu pengetahuan”,.
ATT adalah produk tidak asli dari “generasi saya” (Flannery). Percaya diri dari ambisius, tujuannya mudah saja : “menjadi terkenal, gaji besar, dipuja-puja, dan memberi penghargaan tinggi”
Pahlawan cerita ini adalah AML tokoh ini menghabiskan umurnya dengan sabar di lapanagn dan secara profesional merekontruksi sejarah kebudayaan dari masyarakat sejarah. Tujuan arkeologi : katanya adalah mengajar dunia suatu tentang masa alampau mereka. Selanjutnya katanya, dunia tidak boleh lalai terhadap epistemologi.
Salah satu asumsi teoritis yang mendasar dari determinisme kebudayaan adalah manusia memiliki kapasitas untuk mengadopsi rentang luas keyakinan dan prilaku. Prinsip-prinsip teoritis entral dari paradigma menyatakan bahwa pola-pola pikiran dan prilaku dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan. Konsep kebudayaan adalah santral bagi paradigma determinisme kebudayaan, sebagaimana halnya sentral bagi semua paradigma antropologi. Itulah sebabnya kebanyakan antropolog kebudayaan menolak determinisne biologi. Paradigma determinisme kebudayaan tidak bergerak keluar dari premis bahwa kebudayaan menentukan prilaku. Jika atau lebih tajam, mereka harus menunjuk kepada paradigma antropolog yang lebih khusus pula.
Determinisme kebudayaan dan elektisisme Marvin harris memiliki kesamaan-kesamaan. Seperti eklektisisme, determinisme kebudayaan samar-samar dan tidak jelas batasanya dalam pengertian bahwa teor-teorinya tidak berkaitan satu sama lain dan kadang kontradiktif. Lebih jauh, prinsip teoritis dari materialisme kebudayaan tidak cukup tajam atau luwes untuk menyediakan kerangka umum yang mampu mengintegrasikan sejumlah teori.

0 komentar: