THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sistem, Struktur, dan Fungsi

Sistem Sosial
Antropologi adalah kajian mengenai manusia masyarakat dan kebudayaannya. Antropologi dapat juga di pandang sebagai “sosial komparatif” karena merupakan kajian mengenai aneka ragam masyarakat manusia yang berupaya mengembangkan teori umum tentang bagaimana masyarakat bekerja. Selain itu, antropologi sering kali juga di anggap sebagai kajian tentang masyarakat “skala kecil” yang di sederhanakan agar lebih mudah dikaji secara menyeluruh. Antropologi, khususnya antropologi sosial, karena memperkenalkan adat istiadat eksotik masyarakat yang kurang kita kenal menjadi kita kenal dengan baik dan masuk akal.
Para petinggi antropologi sejak lama tertarik oleh fenomena orang, yang sepanjang hayatnya, dipengaruhi oleh pemikiran dan tindakan orang lain di sekitarnya, dan para tokoh itu kemudian mengembangkan konsep masyarakat sebagai sistem dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Meskipun teori umum mengenai sistem belum berbentuk hingga pertengahan abad ke 20, dua ciri pokok dari sistem sudah nampak jelas dalam konsepsi teori pada abad ke 18 dan 19.
Menurut Thomas Hobbes (1970 [1651]) orang di hambat oleh tindakan orang lain karena mereka, atau nenek moyang mereka, terlibat dalam suatu kontrak sosial. Kontrak ini menghambat mereka dari tindak sepenuhnya atas kehendak sendiri, melainkan menguntungkan bagi setiap orang.
Dua pendekatan umum untuk menjelaskan bagaimana sistem sosial terbentuk, muncul selama abad ke 18 dan 19. Kedua pendekataan ini di sebut interaksonis dan organik. Adam Smith mengusulkan teori interaksionis, yakni bahwa sistem sosial muncul dari interaksi individu yang ingin memenuhi kepentingan mereka. Smith berpendapat bahwa masyarakat di bentuk oleh pembagian kerja.
Masyarakat kontempoler tetaap mempertahankan unsur-unsur tertentu yang merupakan tahap universal dari organisasi. Masyarakat yang paling sederhana mencerminkan organisme-organisme dimana tubuh tersegmentasi menjadi banayak bagian-bagian yang sama tetapi, pada kebanyakan masyarakat kompleks, setiap bagian memainkan peranan yang unik. Namun, kebijakan pemerintah hanya akan berhasil bilamana sesuai dengan kehendak kolektif (Spencer, 1972 [1857]).

Positive Dalam ilmu Sosisal
Seorang ahli filsafat inggris, Thomas Hobbes (1972 {1651]), menulis :
“ ilmu pengetahuan (science) adalah pengetahuan (knowledge) mengenai kosekuensi-kosekuensi, dan ketergantungan suatu fakta pada fakta lain : sehingga... kita mengetahui bagaimana melakukan sesuatu jika kita menginginkan : karena apabila kita mengetahui bagaimana suatu itu terjadi, apa saja sebabnya, dan bagaimana terjadinya : maka kita akan mengetahui bagaimana menghasilkan efek-efek yang di harapkan “ (lahat juga Rhoads, 1991).
Dari kutipan di atas, ada dua pokok penting yang di kemukakan Hobbes. Pertama, ilmu pengetahuan terjadi karena sebab-sebab dan kosekuensi-kosekuensi segala sesuatu, suatu pengetahuan yang mendorong kemampuan manusia yang mengentervensi dalam kondisi-kondisi keberadaanya. Kedua, Hobbes memandang politik sebagai ilmu pengetahuan yang mirip atau sejalan dengan matematika, astronomi, geografi, dan meterologi.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial pada abad-abad berikutnya, pemikiran positivisme berkembang mantap dalam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi. Emanuel Kant, misalnya, adalah tokoh yang meletakkan dasar perbedaan antara kejadian-kejadian alamiah dan spritual dan manusia terlibat di dalam keduanya. Menurut Kahn, manusia sebagai unsur matril yang dapat di pelajari menurut kacamata ilmu-ilmu alamiah : tetapi sebagai mahluk yang mampu memproduksi gagasan manusia hanya dapat di pelajari dengan metode-metode filsafat spekulatif. Untuk sifat yang kedua ini, kajian mengenai manusia sebagai mahluk distigtif dan unik, model ilmu ilmiah tidak dapat di gunakan.

Auguste Comte
Istilah “positivisme” pertama kali di gunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) bagi Comte, positivisme adalah suatu metode pengkajian ilmiah dan suatu tingkatan dalam perkembangan pemikiran manusia. Pikiran berkembang melalui tahap-tahap teologis, metafisika dan positivitas, yang di bedakan terutama oleh metode-metode ekplansinya. Oleh karena kondisi –kondisi perkembangan mental ini adalah juga metode-metode pengkajian, maka setiap tahap perkembangan secara reflektif menunjukan hukum-hukum logika (Rosemberg, 1987 : Philips, 1988). Pada tahap teologis, fenomena di jelaskan pada konteks estitas supranatural seperti roh-roh dan tuhan.
Comte membedakan secara kontras positivis dengan pendekatan teologis dan metafisika. Semua eksplanasi dalam konteks entitas yang tidak dapat diamati seperti roh, tuhan, dan penyebab-penyebab alam yang tak dapat di singkirkan dari eksplanasi positivisme : karena ekplanasi-ekplanasi demikian itu termasuk absolut. Comte begitu yakin bahwa setiap metode mengikuti pendahuluannya dengan keteraturan yang dapat diprediksi yang ia saksiakan dalam kemajuan ini “ suatu hukum tiga tahap “ berarti, semua ilmu humanitas akan menuju ke suatu akhir yakni pemikiran positivisme.
Metode pengkajian dunia (comte menyebutnya filsafat) di terapkan untuk menjelaskan rangkaian berbagai fenomena yang membentuk materi subjek ilmu-ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, “ hukum tiga tahap “ mewujud, tidak hanya perkembangan humanitas secara keseluruhan, akan tetapi juga perkembangan setiap ilmu pengetahuan. Berarti setiap ilmu pengetahuan berasal dari eksplanasi teologis, yang kemudian berkembang ke metafisika dan positivitas.
Menurut comte, kemajuan pemikiran manusia di tentukan oleh gradasi dalam kompleksitas objek dari setiap ilmu pengetahuan, yang membangun urutan hierarki ilmu pengetahuan matematika, astronomi fisika, kimia biologi, dan sosiologi. Menurut pandangan ini perkembangan ilmu pengetahuan mengikuti kemajuan ilmu alamiah. Fakta umum dan sederhana menempatkan menepatkan fakta-fakta partikuralitas dan kompleksitas yang lebih besar, kejadian-kejadian yang kompleks yang tergantung pada kombinasi-kombinasi yang lebih sederhana. Ketergantungan pada alam ini menjelaskan mengapa tahap-tahap kemajuannilmu itu saling tergantung satu sama lain karena hukum-hukum astronomi harus di gabungkan kepada hukum-hukum fisika bumi.
Kalau kita mengikuti pandangan Comte, maka sosiologi dan antropologi tadaka akan berkembang menjadi positivisme hingga suatu saat ketika hubunganny dengan bidang-bidang ilmu lain terjadi. Disiplin bau, dalam hal ini sosiologi, secara khusus tergantung pada biologi. Salah satu alasan tidak munculnya sosiologi yang ilmiah adalah kareana biologi berada dalam tahap belum berkembang. Hubungan ini demikian dekat sehingga biologi akan melengkapi gagasan yang akan mengarahkan penelitian sosiologi. Seluruh evolusi sosial humanitas terjadi menurut hukum-hukum biologi; semua fenomena sosial di temukan dari kesamaan dan organisme manusia, di mna karekteristik fisik, intelektual berada di bawah dari unsur-unsur efektif.

Emile Durkheim
Pemikiran auguste Comte mempengaruhi langsung pemikiran Emile durkheim (1858-1917). Durkheim sependapat dengan comte bahwa ada hukum-hukum sosial yang dapat di temukan di perbandingkan dengan hukum-hukum alam lainnya. (Durkheim 1964 [1938] ; Lukes 1982). Dan membewnarkan Comte bahwa fakta sosisal adalah juga fakta alamiah. Namun, Comte tidak berhasil mengkonseptualisasi fakta-fakta sosial secara tepat dan mencoba menciptakan sesuatu sosiologi yang objek kajiannya adalah gagasan-gagasan. Bagi Durkheim, fakta sosial memberikan definisi bagi sosiologi. Sosiologi adalah kajian ilmiah mengenai fakta sosial. Ciri pokok positivisme dalam sosiologi di temukan dalam cara disiplin ini mengonsepsikan fakta-fakta sosial itu.
Durkheim memandang aneka ragam hukum, aturan-aturan moral keyakinan dan praktik agama, uang, dan intuisi-intuisi seperti keluarga sebagai fakta sosial. Semua unsur ini memiliki eksistensi sama nyatanya dengan fakta fisik dalam alam. Meski tergantung pada individu agar eksis, fakta sosial mengatasi (transeden) individu dan memiliki sifat sifat yang unik. Untuk menemukan hukum-hukum yang menghubungkan satu fakta sosial dan fakta sosial lainnya ahli sosiologi. Kata Durkheim, harus mempelajarinya secara objektif, yakni sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana tampaknya (Durkheim, 1964 [1938]).
Atas dasar itu, konsep fakta sosial harus di bentik secara objektif. Itulah sebabnya, untuk tujuan ilmu pengetahuan, fakta sosial jarus dikonseptualisasi sebagai gejala-gejala. Dengan postulat metodologi ini Durkheim tidak bermagsud mengatakan bahwa fakta sosial secara harfiah adalah gejala, tetapi bahwa perlakuan sedemikian membuktikan adanya realitas eksternal dan independen (Durkheim, 1964 [1938]). Akan tetapi, karena pikiran tidak bisa memahamisesuatu gejala dari dalam, maka sosiolog harus mendekati fakta sosial sebagai objek observasi eksternal dan eksperimentasi dengancara yang sama dengan pendekataan ahli fisika terhadap objek fisik.
Metode mendefinisikan fakta sosial ini adalah bersifat genus proximum dan differentia spesifica (Rhoads, 1991). Tatkala suatu fakta sosial di definisikan, definisi tersebut menjadi landasan untuk menentukan karakteristik-karakteristik lain yang memperluas definisi tersebut. Jadi, aturan Durkheim tentang definisi merupakan proses induksi ; definisi didasarkan pada induksi dari sejumlah unsur khusus dan di perluas kepada unsur-unsur yang belum diobservasi.
Salah satu ciri positivisme dalam pandangan Durkheim adalah penolakannya terhadap pandangan pluralitas. Jadi, berbeda dari pandangan John Stuar Mill, misalnya, bahwasannya akibat yang sama dapat di hasilkan oleh penyebab-penyabab yang berbeda-beda. Alasan Durkheim Petama, apabila efek yang sama datang dan di hasilkan dari sebab yang bebeda maka akan sukar bagi kita untuk menyelidiki suatu akibat dari suatu sebab. Ketidakpastian ini akan menyulitkan deduksi logis. Kedua, pluralitas penyebab mengakibatkan pertentangan proporsionalitas antara sebab dan akibat.
Dalam membuktikan hubungan-hubungan kasual, kita kerap kali menyadarkan keyakinan pada indeks-indeks yang dapat di amati, menurut Durkheim, lebih mudah bagi kita untuk mengkaji fakta-fakta internal, yang cenderung menguntungkan kita, dalam konteks indikator-indikator eksternal yang menjadi simbol. Jika ilmu sosiologi adalah ilmu pengetahuan, maka adakah cara yang lebih beralasan dari pada hanya menemukan analogi-analogi sosial dari fakta-fakta alam.

Talcott parsons
Positivisme talcott Parsons (1902-1979) bberdasar pada relisme analisis (1962). Istilah “realisme” menunjukan eksistensi suatu dunia objektif dari suatu kejadian-kejadian yangh tidak acak, yang bersifat eksternal bagi pengamat sosiologis. Objektivitas dan eksterioritas adalah pengaruh dari fakta sosial Durkheim
Apabila konsep analisis merupakan representasi ilmiah dan sesuai mengenai gejala, maka timbul pertanyaan apa magsudnya ? persons mengemukakan bahwa setiap entitas konkret tersusun dari unsur-unsur atau ciri-ciri yang tak dapat eksis secara terisolir, konsep-konsep analitis menunjukan unsur-unsur, yang diabtrasikan dari unsur-unsur lain yang tak terpisahkan, bagian gejala kembar, satu sama lain. Jadi, elemen analisis dari suatu partikel fisik adalah massanya yang secara fisik tak dapat di pisahkan dari partikel itu sendiri.
Persons berupaya mengungkapkan elemen-elemen analisis dari tndakan manusia. Tindakan yang palaing mendasar dapat eksisi sebagai entitas yang konkret di sebut persons sebagai satuan tindakan (unit act) yang di baginya menjadi empat elemen analitis. Pertama, tujun pelaku yakni suatu keadaan mendatang yang dibabkan oleh tindakan. kedua, cara yang tersedia baginya untuk mencapai tujuan tersebut. Ketiga, kondisi yang tidak dapat di kontrol oleh pelaku oleh karena itu bisa di pandang sebagai kendala. Cara dan kondisi adalah elemen situasi. Keempat, normatif, yang terdiri dari gagasan pelaku, sering kali dimiliki bersama dengan orang lain.
Identifikasi elemen-elemen dari tindakan konkret menentukan tahap formulasi hukum analitis yang dapat di perbandingkan dalam bentuk logis dalam hukum mekanuka. Hukum analisis dari satuan tindakan mengambil bentuk antar hubungan di antara nilai-nilai variabel dari tujuan, cara, kondisi, dan norma.
Oleh karena itu teori umum mengenai tindakan, yang terjadi 4 konsep analitis, abstrak dari kejadian-kejadian nyata, maka memeungkinkan bagi teori-teori lain untuk mengabtrasikan berbagai elemen dari kejadian yang sama dan menjelasakan dala konteks aturan-aturan yang berbeda. Jadi, seorang ahli fisika dan sosiologi akan membuat abtraksi yang berbeda.
Persons melihat adanya analogi lain antara organisme biologi dan manusia. Spesies biologi dan sosial beradaptasi pada lingkungan mereka. Organisme, kepribadian, dan sistem sosial semuanya bekerja untuk mencapai tujuan simbol kebudayaan adalah analog dengan gen biologi.

0 komentar: